Sabtu, 25 Agustus 2012

Y A Q I N




وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21) وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ } [الذاريات: 20 - 22]
dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (20) dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? (21) (Adz-Dzariyat : 20-21)
Dengan jelas ayat di atas mengkhabarkan bahwa kemampuan mencermati tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di alam semesta termasuk di dalam diri kita, hanya dimiliki orang-orang yang yakin kepada Allah SWT, mereka dapat menikmati keimanannya kepada Allah SWT.
Tentunya cara orang yang yaqin dalam mencermati tanda-tanda kekuasaan Allah, berbeda dengan cara orang-orang saintis yang hanya berfokus pada keilmuan nisbi (relative), orang-orang yang yaqin memahaminya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, dengannya mereka menyadari posisi diri mereka sebagai hamba, potret mereka adalah sebagaiman deskripsi Al-Qur’an tentang Ulûl Albâb di dalam surat Ali Imrân, dalam doa mereka menyebutkan : “Wahai Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini dalam keadaan sia-sia, maka jagalah kami dari api neraka”.
jika demikian, maka begitu tingginya nilai keyakinan!


Definisi Yakin
Apakah, kita dapat mengambil faedah dari ayat-ayat kauniyyah yang Allah hamparkan luas di semesta alam ini?, apakah kita termasuk orang-orang yang yakin atau “al-Mûqinûn”?
Yaqin menurut bahasa berasal dari derivasi kata “yaqina, ayqana, yûqinu, îqânan, yaiqinu, yaqnan, yaqînan fahuwa mûqinun. yang antonimnya adalah keraguan “syakk”, artinya yaqin adalah ilmu dan aplikasi suatu urusan serta menghapus keraguan
Dalam tradisi perkataan Arab, untuk mengungkapkan “keyakinan” orang-orang Arab juga menggunakan kata “dzann”  - yang arti asalnya adalah persangkaan dan perkiraan- yang memiliki makna ganda yakni ungkapan keyakinan juga keraguan. Oleh karena itu sebagain ahli tafsir  mengatakan : setiap “dzann” di dalam Al-Qur’an menunjukkan ilmu dan keyakinan, sebagaiman disebutkan ath-Thabari dengan sanadnya kepada Mujâhid dan Ibnu katsir menyebutkan ke-shahihan sanad darinya (lihat Jâmi’ al-Bayân dan Tafsîr Ibnu Katsîr)
Menurut Istilah yaqin adalah memantapkan ilmu dengan menghapus keraguan dan kesamar-samaran (syubhat) dan keilmuan yang kokoh yang tidak ada keraguan di dalamnya sehingga menyebabkan ketetangan hati dan mendorong seseorang untuk beramal. (DR. M. bin Abdul Aziz bin Ahmad al-Ali)
Ibnu Taimiyah mengatakan : “Yaqin adalah ketetangan hati dan kemantapan ilmu  di dalamnya, lawannya adalah keraguan yaitu suatu jenis dari pergerakan dan kegoncangan” (majmu’ Fatâwa)
As-Sa’di mengatakan “Keyakinan adalah ilmu yang sempurna yang di dalamnya tidak ada keraguan tingkat terendah sekalipun, dan mendorong untuk beramal” (Taisir Karimir Rahman)
Buah Keyaqinan
Keyakinan begitu penting bagi kita dalam beriman kepada Allah SWT, berikut di antara buah-buah hasil dari keyakinan, yaitu :
1. Yaqin adalah sebab utama kehidupan dan ketenangan hati, ia akan menghapus keraguan dan kemarahan serta mengisi hati dengan cahaya serta pengharapan, takut dan kecintaan kepada Allah SWT secara bersama-sama.
2. mendapatkan taufik dan pertolongan dari Allah dalam mengahadapi pertanyaan-pertanyaan  dua Malaikat Kubur.
3. Keyakinan dapat menolong seseorang untuk beribadah dan melaksanakan syaria-syariat Allah SWT.
4.Keyakinan menjadi sebab kelapangan dada dan terpeliharanya dari rasa takut, gundah-gulana dan keraguan. Allah berfirman :
tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Ath-Taghâbûn : 11)


Tentang ketenangan hati, kita teringat kepada kisah Nabiyullah Ibrâhîm ‘alaihis salam, ketika ia meminta agar Allah SWT menunjukkan bagaimana Allah menghidupkan yang yang mati, dan Allah bertanya kepadanya “Apakah kamu belum beriman?” Ibrâhim menjawab “tidak, namun aku ingin hatiku ini menjadi tetang”. Dalam hal ini Ibrâhim ingin meningkatkan tingkat keyakinannya dari ilmul yaqin menjadi ‘ainul yaqîn. Dan Allah SWT mengabulkannya.
Kemudian Allah memerintah Nabi Ibrâhim menyembelih tiga ekor burung dan meletakkan beberapa bagiannya di gunung-gunung, kemudian Ibrahîm memanggil burung-burung tersebut dan mereka datang kepdanya dalam keadaan hidup.
Hal ini terjadi kepada Nabi Ibrahim dalam rangka meningkatkan keyakinannya, dan kejadian tersebut kecil kemungkinan akan kita alami, namun demikian ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keyakinan kita, di antaranya :
Metode Meningkatkan keyakinan
Pertama, Tadabbur Al-Qur’an terutama ayat-ayat yang menjelaskan tentang ke-esaan Allah (tauhidullah) dan ayat-ayat keagungan-Nya, dengan mengenal Allah SWT dan mengagungkannya dalam diri kita merupakan sebab utama mengokohkan keyakinan kita.
Kedua, Sering membaca sejarah kehidupan Rasulullah SAW, menelaah sunnah – sunnah-nya dan mengetahui kisah-kisah yang menunjukkan da’wah beliau, kecintaannya kepada umat, kesabarannya, dan perjuangannya.
Ketiga, membaca nash-nash janji dan ancaman Allah SWT baik di dalam Al-Qur’an juga di dalam As-Sunnah, serta memperhatikan sifat-sifat surga dan calon para penghuninya. Demikian juga dengan neraka, juga keadaan yang akan dialami di alam kubur baik kenikmatan ataupun sisksaan
Keempat, membaca kisah-kisah para Nabi, terutma yang berkait dengan mu’jizat dan pertolongan Allah kepada mereka serta tingginya kesabaran mereka ketika menghadapi kaum-kaumnya, terutama kisah nabi Nûh, Hûd, Ibrâhîm, Mûsâ dan Muhammad SAW.
Kelima, mengetahui tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Keenam, berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar Allah meningkatkan keyakinan dan ketetapan hati.
Ketujuh, memperhatikan dan bertafakkur terhadap ayat-ayat kauniyyah atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang terhampar luas di alam semesta.
Demikian sedikit pembahsan tentang keyakinan mudah-mudahan bermanfaat!

MEMILIH TEMAN



وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا } [الفرقان: 27 – 29[
Dan (Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) Aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". (27).  Kecelakaan besarlah bagiKu; kiranya Aku (dulu) tidak menjadikan sifulanitu teman akrab(ku). (28) Sesungguhnya dia Telah menyesatkan Aku dari Al Quran ketika Al Quran itu Telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. (29) (Al-Furqân 28-29)

Latar belakang atau sabab Nuzû) ayat di atas sebagaimana diketengahkan banyak mufassirin berkait dengan seorang  pemuka Quraisy yang bernama Uqbah bin Abi Mu’aith, seorang yang memiliki kepribadian yang baik, sekalipun ia belum beriman kepada Rasulullah SAW, namun ia senang berbicara dan bertukar fikiran dengan beliau, dalam suasana pergaulan yang baik, sampai-sampai suatu ketika ia mengundang Rasulullah SAW untuk bertamu dan makan di rumahnya, ketika makanan sudah dihidangkan, Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau tidak hendak memakannya sebelum Uqbah menyatakan dua kalimat syahadat, karena Uqbah adalah seorang yang baik dan memuliakan tamunya, ia pun mengucapkan syahadat tersebut.
Setelah peristiwa tersebut ia bertemu dengan kawan lamanya Ubayy bin Khalaf dan ia pun menceritakan bahwa dirinya telah bersyahadat, Ubayy pun mencelanya dan mengatakan bahwa “kamu lemah” dan mengatakan “saya belum rela sebelum engkau datang kepada Muhammad itu, caci maki ia lalu ludahi mukanya”, dengan tidak memikirkan akibat yang jauh , Uqbah pun mengikuti provokasi sahabat lamanya ini, Uqbah pun mencari Rasulullah SAW, dan didapatinya beliau sedang bersujud di Darun Nadwah, lalu dicaci-makilah beliau dan diludahi mukanya, menghadapi penghinaan dari Uqbah ini, beliau mengatkan : “Apabila kelak aku bertemu denganmu di luar kota Makkah, kecuali pedangku akan memotong kepalamu”, dan ketika perang Badar Uqbah pun tertawan dan Rasulullah SAW memerintahkan Ali untuk membunuhnya sedangkan Ubayy terkena tombak, ia lari ke Makkah dan meninggal seraya berucap “duhai kiranya aku memilih jalan bersama Rasul Allah”. (Hamka/tafsir al-Azhar dan Wahbah az-Zuhaili/tafsir Al-Munir)
Ya laitanî ittakhadtu ma’ar rasuli sabila, ya wailata laitani lam attakhidz Fulânan khalîlan (dan duhai kiranya aku tidak menjadikan si Fulan sebagai Teman), kalimat tersebut adalah ungkapan penyesalan seorang yang salah memilih teman kepercayaan, temannya itu telah menyesatkannya sehingga di akhirat ia akan menggigit tangannya, menyesali sikapnya meninggalkan Rasul dan memilih jalan orang-orang yang sesat. Ibnu Katsir dalam tafsirnya tidak secara detail menukil sabab Nuzul  di atas, namun menjelaskan :
“Setiap orang yang dzalim akan menyesal pada hari kiamat dengan penyesalan yang sangat, ia akan menggigit kedua tangannya seraya berkata (duhai sekiranya aku memilih jalan bersama Rasul Allah, dan duhai sekiranya aku tidak menjadikan fulan sebagai khalil (kekasih), yaitu (teman) yang memalingkannya dari petunjuk dan beralih ke jalan kesesatan yang ditunjukkan para penyerunya baik itu Umayyah bin Khalaf atau saudaranya Ubayy bi Khalaf atau yang lainnya”.
Penyesalan yang akan dihadapi orang-orang dzalim pada hari kiamat adalah akibat mereka menuruti kemauan sesat kroni-kroninya, baik kawannya, istri atau kekasihnya, pemimpinnya dan syetan – syetan yang memberikan angan-angan dan janji palsu, gambaran penyesalan ini disebutkan di dalam Al-Qur’an :
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". (66)  Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (67)  Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (68) (QS. Al-Ahzab 66-68)
Memilih Teman yang Baik
Ada pepatah yang mengatakan “janganlah kau tanya seseorang tentang dirinya tapi cukup lihat saja temannya,  karena seseorang dengan temannya saling mengikuti”. 
Teman sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang, ia bagaikan kopi atau teh yang akan mewarnai segelas air yang bening, oleh karena itu sudah semestinya setiap orang memperhatikan dengan siapa ia bergaul dan berteman dalam kehidupan sehari-harinya, jika ia berteman dengan orang-orang shalih yang selalu menasehatinya ingat kepada Allah SWT, maka akan menjadi sebab memperbaiki kualitas keimanannya. Sebaliknya apabila ia berteman dengan orang-orang yang berperilaku buruk, maka perilaku buruk itu juga akan menjangkitinya, terkecuali bergaul dengan mereka dengan maksud berda’wah dan menasehati mereka untuk dapat berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruknya sedangkan ia sudah memiliki kesiapan yang matang.
Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda: “ permisalan teman yang shalih dan teman yang buruk, seperti penjual minyak wangi dan seorang pandai besi, seorang penjual minyak wangi mungkin saja ia memberimu (minyak wangi), atau engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan wangi yang harum sedangkan seorang pandai besi mungkin akan membakar bajumu atau kau mendapati bau yang buruk (darinya)”. (Muttafaq ‘alaih)
Seorang laki-laki yang memiliki teman-teman yang buruk seperti para pelaku maksiat dan orang-orang yang suka meninggalkan shalat, mungkin suatu saat akan juga mengajaknya berlaku demikian, demikian pula seorang wanita yang memiliki kawan-kawan yang buruk seperti para pelaku ghibah dan gossip, dan berkata perkataan yang rendahan secara sadar atau tidak akan terpengaruh, demikian pula bagi yang telah memiliki putra-putri hendaklah mendidik mereka dengan sebaiknya memperhatikan pergaulan mereka, arahkan mereka untuk bergaul dengan teman-teman yang shalih yang senantiasa menjaga ajaran agama ini dan saling menasehati dalam kebaikan.
Hakekatnya diri kita sendiri yang lebih berperan menerima atau menolak kebenaran sehingga kelak di akhirat kita sendiri yang akan mempertanggung-jawabkan apa yang kita perbuat, namun demikian, seringkali keberadaan teman berpengaruh dalam dalam keputusan kita dan mempengaruhi perilaku kita, sebagaimana contoh yang disebutkan di atas, oleh karena itu suatu sudah semestinya kita pandai mencari dan  memilih teman, teman-teman yang baik tentu ada di tempat-tempat yang baik seperti dengan mendatangi majlis-majlis ilmu agar mendapat teman-teman yang senantiasa mengingatkan kepada kebaikan.
Mudah-mudahan Allah SWT memberi kita petunjuk dan menguatkan hati kita untuk menerima kebenaran dan melindungi kita dari setiap bujuk rayu para penyeru kesesatan, jadilah teman yang shalih dan carilah teman yang shalih.
Aan Abdurrahman, S.Kom.I