Kamis, 28 Maret 2013

Qishash (Hukuman Setimpal)



Sebagai tindakan krimninal (jinâyah) pembunuhan, dalam Islam, pelaku pembunuhan akan dihukumi qishash (pembalasan setimpal), kecuali bila dimaafkan oleh ahli waris korban, namun pelaku tetap wajib membayarkan diyat dengan cara yang baik, yakni dengan membayarkan sejumlah harta kepada ahli waris korban, (gambarannya : standarnya satu jiwa laki-laki muslim merdeka, diyatnya seratus ekor unta atau yang setara dengannya-penjelasan lebih lanjut dapat di lihat pada artikel –artikel tentang diyat- http://almanhaj.or.id/content/3122/slash/0/hukum-diyat/).
Sebagai hukum Islam, qisash tidak hanya diimplementasikan pada kriminal pembunuhan, namun juga perbuatan melukai orang lain, Allah SWT berfirman :
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Al-Mâ`idah : 45)
Ayat di atas juga berlaku untuk kita, karena pada dasarnya syari’at umat terdahulu adalah syari’at bagi kita kecuali bila ada dalil yang menghapus dan menggantikannya (naskh).
Tentang hikmah hukum qishash, Allah SWT berfirman : “dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Al-Baqarah : 179)
Mungkin orang yang membaca ayat ini akan terperangah dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin tindakan balas hukum akan menimbulkan kedamaian dan kehidupan (al-hayâh) padahal pada prakteknya juga meghilangkan nyawa manusia yang lainnya, bahkan oleh para pemuja HAM perpektif Barat dianggap kejahatan pada HAM itu sendiri.
Abû al-‘Âliyah mengatakan, Allah telah menjadikan qishâsh sebagai kehidupan, sehingga berapa banyak seseorang yang hendak membunuh, namun  rasa takut akan dibunuh lagi (sebagai hukum qishâsh) mencegahnya (melakukan hal demikian). (Ibnu Katsîr, V. 1, h. 492)
Inilah di antara rahasia qisash, yang telah dijadikan sebagai solusi dari Allah atas sifat sebagian manusia yang senang menumpahkan darah, dalam tafsirnya, Al-Qâsimi menjelaskan bahwa  dalam ayat diatas terdapat ketinggian nilai bahasa Al-Qur`an (fashâhah wal Balâghah) karena qishâsh sebagai bentuk penghilangan nyawa seseorang diposisikan sebagai hal sebaliknya yakni kehidupan, secara bahasa juga kata al-qishâsh disebutkan secara definitif (ma’rifah) berbeda dengan kata “hayâh” yang disebutkan secara indefinitif (nakirah), hal ini menunjukan hikmah kehidupan yang besar dari jenis hukum qishâsh ini. (al-Qâsimi, V, 2, h.8)
Dengan pemberlakuan hukum qisash ini, tindakan-tindakan semena-mena terhadap jiwa manusia dapat dicegah, kita tidak akan sering lagi mendengar berita aksi pemukulan yang tidak bertanggung jawab, aksi berkendaraan yang membahayakan nyawa manusia, penganiayaan orang kuat terhadap yang lemah, aksi premanisme yang suka mengancam dan melukai manusia, aksi aparat yang dengan mudah men-dor seseorang karena kesalahan kecil atau bahkan mungkin tidak bersalah, dan kasus-kasus lainnya. Orang – orang akan berfikir ulang bila dirinya melakukan kejahatan terhadap jiwa manusia baik dengan membunuh atau sekedar melukainya, ia akan dikenakan hukum qishash atau jika dimaafkan ia harus menanggung diyat seratus ekor unta untuk satu jiwa manusia.
 Meskipun demikian, penolakan – penolakan terhadap hukum qishâsh ini akan saja selalu ada di setiap zamannya, termasuk dengan dalih hak asasi manusia seperti yang dilakukan para pemuja HAM perpektif Barat saat ini. Hal ini tidak mengherankan, sebab Al-Qur`an telah mensinyalir orang-orang bodoh seperti ini, oleh karenanya yang dapat memahami hikmah besar dari hukum qishash ini hanyalah “ûlul albâb” atau orang-orang yang menggunakan hati dan pikirannya, yang berfikir bukan sekedar untuk urusan saat ini namun juga akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. (l, Asy-Syaukânî, 1/203)
Sebagai orang-orang yang beriman, qishas dan diyat bukan hal utama yang kita takuti, namun kita meyakini bahwa siksa dan hukuman yang berat di akhirat kelak akan menunggu orang-orang yang menganiaya manusia, membunuhnya dan tidak menghargai nilai nyawa setiap manusia yang telah diberi kehidupan oleh Allah SWT.
Wallahu A’lam
Aan Abdurrahman

Seakan-akan Membunuh Semua Manusia, ....


Akhir-akhir ini berita-berita tentang pembunuhan semakin sering didengar,  seakan nilai-nilai kemanusiaan telah tercerabut dari banyak orang di negri ini sehingga baginya tidak ada lagi harga bagi nyawa seseorang, lebih dari itu pembunuhan pun dilakukan dengan sadis, seperti dengan memutilasi korban, menjual anggota tubuh korban, merampas harta korban dan kehormatannya serta lain-lainnya.
Kasus pembunuhan ini pun tidak pernah menyusut, namun semakin meningkat frekuensinya meski berbagai tindakan hukum telah dilakukan, bahkan memunculkan aksi hukum sendiri karena ketidak puasan terhadap proses tindakan hukum yang dijalankan.

Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam sangat menghargai nilai jiwa manusia, oleh karenanya memelihara jiwa (hifzh an-nafs) termasuk satu dari lima tujuan umum syari’at Islam (maqâshid asy-syar’iyyah), yang implementasinya, menganggap perbuatan membunuh tanpa alasan yang benar, sebagai dosa besar yang pelakunya mendapatkan hukuman keras (qishash) di dunia serta ancaman siksa Jahannam di akhirat, Allah SWT berfirman :

“dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (An-Nisaa` : 93)

Ini adalah ancaman terberat bagi sebuah dosa besar, ada empat ancaman bagi pelaku pembunuhan dalam ayat di atas yaitu, kekal dalam neraka Jahannam, murka dan kutukan Allah serta azab yang besar, tentang ayat ini  syekh As-Sa’di mengatakan bahwa tidak ada dosa besar yang ancamannya lebih berat atau serupa dari pada ancaman ayat ini bagi pelaku pembunuhan (V.I, h. 93) oleh karenanya membunuh merupakan dosa besar yang membinasakan dan persoalan penumpahan darah ini akan diproses pertama – tama dalam pengadilan akhirat sebelum urusan-urusan lainnya, Rasulullah SAW bersabda : 

“Hal yang pertama kali diperkarakan antara manusia pada hari kiamat adalah tentang persoalan darah” (Muttafaq ‘alaih)

Tingginya penghargaan Islam terhadap jiwa manusia terutama yang beriman, begitu dipahami oleh Sahabat-sahabat Rasulullah SAW, dalam hal ini atsar dari Abdullah bin‘Umar RA patut kita renungkan, Suatu hari ia memandangi Ka’bah, ia berkata : betapa agungnya engkau (ka’bah) dan betapa agung kehormatanmu! Namun seorang yang beriman lebih agung kehormatannya dari padamu” (Tirmidz dan Ibnu Hibbân, shahih menurut Al-Albâni)

Pembunuhan merupakan kejahatan yang amat besar, jika kejahatan ini dibiarkan tanpa penegakkan hukum akan menimbulkan rasa ketidak amanan di masyarakat, teror yang selalu mencekam, timbulnya dendam dari keluarga korban, dan penghinaan terhadap nilai kehidupan.

Tragedi Pembunuhan yang pertama
Tragedi pembunuhan yang pertama kali terjadi dalam sejarah manusia adalah kisah dua anak Nabi Adam ‘alaihis salam, karena munculnya kedengkian dari salah seorang mereka karena saudaranya mendapatkan niikmat yang lebih dari Allah SWT, sehingga yang satu membunuh yang lainnya, Allah SWT berfirman :

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (Al-Maidah : 27)

Al-Qur`an tidak pernah menyebutkan nama kedua anak Adam yang dimaksud, karena yang terpenting adalah hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut, diantara hikmah itu adalah hargailah jiwa manusia, jangan pernah membunuh atau menyusahkannya, Rasulullah SAW bersabda :
 لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا، إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ القَتْلَ
 “Tidaklah satu jiwa dibunuh, melainkan atas salah satu anak Adam (yang membunuh) bagian dari dosa dari darahnya, karena ia adalah yang pertama kali memulai pembunuhan” (Bukhâri dan Muslim)
Membunuh satu jiwa, tidak berarti hanya berbuat lalim terhadap satu orang, namun sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia, Allah SWT berfirman :

oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...”. (Al-Maidah : 32)

Ayat di atas bukan hanya tentang Bani Israil, namun termasuk bagi umat terakhir ini, disebutkannya Bani Israil antara lain karena sifat mereka yang senang berbuat aniaya dan menumpahkan darah, padahal mereka mengetahui buruknya pembunuhan ini namun mereka bahkan membunuh para Nabi ‘alaihimus salam. (6/159).

Ibnul Mubârak mengatakan, dari Salâm bin Miskîn dari Sulaimân bin ‘Alî al-Rî’i, ia berkata, aku bertanya kepada al-Hasan: “apakah ayat ini juga untuk kita wahai Abû Sa’id sebagaimana juga untuk Bani Israil?, maka ia menjawab : ya, demi yang tidak ada Tuhan selain Dia sebagaimana untuk Bani Isrâ’il dan tidaklah darah Banî Isrâil lebih mulia di sisi Allah daripada darah kita. (Ibnu Katsir V, 3, h. 93)

Menurut DR. Wahbah al-Juhaili, ayat ini adalah dalil bahwa jiwa manusia bukan miliknya sendiri, namun harta sosial/milik masyarakat yang ia hidup disana, sehingga orang yang membunuh satu jiwa meski membunuh dirinya sendiri ia berhak atas siksa yang berat pada hari kiamat, sedangkan orang menghidupkan satu jiwa karena sebab apa pun maka seakan-akan ia menghidupkan seluruh manusia. (V. 6, h. 156)

Wallahu A’lam
Aan Abdurrahman