Selasa, 30 April 2013

RUQYAH SYAR'IYYAH VERsus ruqyah syirkiyyah


Jampi –jampi dan jimat masih sangat melekat dengan kehidupan sebagian kaum muslimin di Indonesia, hal ini tidak mengherankan karena memang pengaruh tradisi dan kepercayaan agama-agama  terdahulu masih begitu melekat ditambah lagi dengan masih banyak umat Islam yang belum tersentuh oleh da’wah dan pengajaran Islam  yang benar.
Jampi-jampi dalam bahasa Arab disebut dengan ruqyah (rajah : jawa), dikisahkan bahwa Sahabat-sahabat Nabi dahulu juga telah mengenal ruqyah sebelum kedatangan Islam, maka diantara ruqyah-ruqyah itu ada yang mengandung unsur syirik (menyekutukan Allah), diriwayatkan dari ‘Auf bin Mâlik Rhadiyallahu ‘anhu, ia berkata : ((pada waktu Jâhiliyah kami melakukan ruqyah, maka kami bertanya : Wahai Rasulullah bagaimana menurutmu (tentang ruqyah)? : maka Beliau bersabda : “laporkan ruqyah-ruqyah kalian kepadaku, tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak termasuk perbuatan syirik” (HR. Muslim). Maksudnya ruqyah itu boleh dengan syarat tidak mengandung kesyirikan.
Syarat –syarat Ruqyah Syar’iyyah
Ruqyah syar’iyyah adalah upaya memohon pertolongan kepada Allah agar disembuhkan dari suatu penyakit baik yang sifatnya fisik, seperti sakit demam, disengat kalajengking dan hewan berbisa  dan lainnya, atau penyakit yang bersifat spiritual, seperti gangguan Jin, sihir dan ‘ain. Ruqyah ini dapat dilakukan sendiri atau dengan meminta tolong orang lain untuk membacakannya.
Imam as-Suyûthi mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa boleh melakukan ruqyah jika terpenuhi tiga syarat, yaitu :  pertama, menggunakan Al-Qur`an atau dengan asma` Allah dan sifat-sifat-Nya, Kedua, dengan menggunakan bahasa Arab atau yang diketahui maknanya, Ketiga, Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, melainkan berpengaruh karena taqdir Allah SWT.
Sedangkan di antara tata caranya adalah dengan membacakannya kepada yang sakit atau meletakkan tangan di tempat yang sakit kemudian membaca basmallah tiga kali lantas membaca “ ‘Audzu billâhi wa qudratihi min syarri mâ ajidu wa uhâdziru (7 kali) (‘aku berlindung kepada allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan yang aku temui dan yang aku hindari’ )” 
Meskipun meminta diruqyah ini dibolehkan, namun sebaiknya setiap mu`min dapat meruqyah dirinya sendiri, memohon kesembuhan secara langsung kepada Allah SWT dengan diiringi amal ibadah, melaksanakan kewajiban, menghidupkan sunnah, meninggalkan maksiat, memperbanyak sedekah, dan melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Contoh bacaan ruqyah yang dapat dengan mudah diamalkan setiap Muslim adalah, membaca surat al-Fâtihah, al-ikhlas, al-mu’awwidzatain (surat al-falaq dan an-Nâs), ayat Kursi, dua ayat terakhir surat al-Baqarah dan surat al-Baqarah secara keseluruhan serta do’a-doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, seperti doa yang dibaca Jibrîl ketika meruqyah Rasulullah SAW, “Bismillah arqîka min kulli syai`in yu`dzîka min syarri kulli nafsin aw ‘ainin hâsid, Allah yasyfîk, bismillâh arqîk” (“Dengan nama Allah aku meruqyah-mu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan setiap jiwa, ‘ain orang yang dengki, Allah yang menyembuhkanmu dengan nama Allah aku meruqyahmu” (HR. Muslim)
Ciri-ciri Ruqyah Syirik
Namun demikian tidak jarang banyak ruqyah yang beredar di masyarakat bercampur dengan kesyirikan, karena memohon pertolongan kepada selain Allah SWT, seperti dengan memohon pertolongan Jin, benda-benda keramat, bahkan kepada Malaikat atau kepada Nabi, atau dengan bahasa yang tidak dimengerti.
Oleh karenanya, setiap Muslim seharusnya berhati-hati kepada siapa ia meminta untuk diruqyah, ia harus melihat apakah ruqyah yang dilakukannya sesuai syari’at atau ruqyah syirik yang menggunakan bantuan Jin, meskipun yang melakukannya berpenampilan layaknya seorang kiyai atau ulama.
Tanda-tanda bahwa ruqyah yang dilakukan adalah ruqyah syirik diantaranya: ahli ruqyah/jampi-jampi biasanya akan menunjukkan bahwa ia seakan-akan mengetahui sesuatu yang ghaib seperti menebak – nebak masalah yang dihadapi pasien, meramal masa depan pasien dan lain-lain, tanda lainnya akan menanyakan hari lahir, nama orang tua, menggunakan bahasa yang tidak dimengerti, meminta sesaji (nyuguh) dan sejenisnya, menyuruh mendatangi kuburan dan tempat-tempat yang dianggap keramat, meminta agar membuka aurat, mengikuti keinginan jin (bila merasukinya), menggantungkan jimat-jimat dan lain-lainnya yang bertentangan dengan syari’at Islam

Jimat
Selain jampi-jampi, jenis lainnya yang sering dilakukan adalah menggantungkan jimat-jimat, bahkan keduanya seperti tidak dapat dipisahkan, seseorang yang mendatangi dukun selain akan dijampi-jampi, ia pun akan dititipkan jimat, supaya sembuh dan menolak bala`
Jimat-jimat yang beredar di masyarakat biasanya untuk digantungkan di leher-leher bayi dan orang sakit, sebagian lagi menempelkankannya di toko dan warung mereka agar dapat menarik banyak pelanggan dan keuntungan, sebagian lagi meletakkannya di pintu-pintu rumah agar terhindar dari orang jahat.
Perbuatan menggantungkan jimat ini bertentangan dengan aqidah islam, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan jampi-jampi adalah perbuatan syirik” (HR. Abu Dâwûd, Ahmad, Ibnu Mâjah dan Hâkim-Shahih menurut al-Albâni)
Terdapat dua jenis jimat, Pertama, berupa tulisan ayat-ayat Al-Qur`an, atau nama dan sifat Allah dengan harapan mendapatkan kesembuhan, menurut pendapat yang kuat jimat jenis ini juga dilarang sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas dalil ini bersifat umum, hal ini juga sebagai sadd dzarî’ah (menutup peluang kerusakan), karena bila menggantungkan bacaan Al-Qur`an dapat menyebabkan terbawa ke tempat-tempat yang terlarang seperti tempat buang hajat.
Kedua, menggantungkan sesuatu berupa tulang, jarum, telor, paku, benang, sandal, nama-nama syetan dan jin serta lain-lainnya, jenis ini jelas diharamkan dalam Islam karena bergantung kepada selain Allah SWT.
Hakikatnya orang yang suka mendatangi dukun, paranormal dan menggantung-gantungkan jimat adalah orang-orang yang hati dan imannya sakit, ia berpaling dari Allah yang maha mengurus segalanya kepada makhluk lemah yang tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali atas izin Allah, orang seperti ini tidak memahami makna tawakal kepada Allah dan tidak mengerti hakikat keimanan kepada taqdir. Oleh karenanya hal pertama yang seharusnya disembuhkan adalah hati dan aqidahnya dengan mempelajari tauhid dengan benar.

Kamis, 28 Maret 2013

Qishash (Hukuman Setimpal)



Sebagai tindakan krimninal (jinâyah) pembunuhan, dalam Islam, pelaku pembunuhan akan dihukumi qishash (pembalasan setimpal), kecuali bila dimaafkan oleh ahli waris korban, namun pelaku tetap wajib membayarkan diyat dengan cara yang baik, yakni dengan membayarkan sejumlah harta kepada ahli waris korban, (gambarannya : standarnya satu jiwa laki-laki muslim merdeka, diyatnya seratus ekor unta atau yang setara dengannya-penjelasan lebih lanjut dapat di lihat pada artikel –artikel tentang diyat- http://almanhaj.or.id/content/3122/slash/0/hukum-diyat/).
Sebagai hukum Islam, qisash tidak hanya diimplementasikan pada kriminal pembunuhan, namun juga perbuatan melukai orang lain, Allah SWT berfirman :
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (Al-Mâ`idah : 45)
Ayat di atas juga berlaku untuk kita, karena pada dasarnya syari’at umat terdahulu adalah syari’at bagi kita kecuali bila ada dalil yang menghapus dan menggantikannya (naskh).
Tentang hikmah hukum qishash, Allah SWT berfirman : “dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (Al-Baqarah : 179)
Mungkin orang yang membaca ayat ini akan terperangah dan bertanya-tanya, bagaimana mungkin tindakan balas hukum akan menimbulkan kedamaian dan kehidupan (al-hayâh) padahal pada prakteknya juga meghilangkan nyawa manusia yang lainnya, bahkan oleh para pemuja HAM perpektif Barat dianggap kejahatan pada HAM itu sendiri.
Abû al-‘Âliyah mengatakan, Allah telah menjadikan qishâsh sebagai kehidupan, sehingga berapa banyak seseorang yang hendak membunuh, namun  rasa takut akan dibunuh lagi (sebagai hukum qishâsh) mencegahnya (melakukan hal demikian). (Ibnu Katsîr, V. 1, h. 492)
Inilah di antara rahasia qisash, yang telah dijadikan sebagai solusi dari Allah atas sifat sebagian manusia yang senang menumpahkan darah, dalam tafsirnya, Al-Qâsimi menjelaskan bahwa  dalam ayat diatas terdapat ketinggian nilai bahasa Al-Qur`an (fashâhah wal Balâghah) karena qishâsh sebagai bentuk penghilangan nyawa seseorang diposisikan sebagai hal sebaliknya yakni kehidupan, secara bahasa juga kata al-qishâsh disebutkan secara definitif (ma’rifah) berbeda dengan kata “hayâh” yang disebutkan secara indefinitif (nakirah), hal ini menunjukan hikmah kehidupan yang besar dari jenis hukum qishâsh ini. (al-Qâsimi, V, 2, h.8)
Dengan pemberlakuan hukum qisash ini, tindakan-tindakan semena-mena terhadap jiwa manusia dapat dicegah, kita tidak akan sering lagi mendengar berita aksi pemukulan yang tidak bertanggung jawab, aksi berkendaraan yang membahayakan nyawa manusia, penganiayaan orang kuat terhadap yang lemah, aksi premanisme yang suka mengancam dan melukai manusia, aksi aparat yang dengan mudah men-dor seseorang karena kesalahan kecil atau bahkan mungkin tidak bersalah, dan kasus-kasus lainnya. Orang – orang akan berfikir ulang bila dirinya melakukan kejahatan terhadap jiwa manusia baik dengan membunuh atau sekedar melukainya, ia akan dikenakan hukum qishash atau jika dimaafkan ia harus menanggung diyat seratus ekor unta untuk satu jiwa manusia.
 Meskipun demikian, penolakan – penolakan terhadap hukum qishâsh ini akan saja selalu ada di setiap zamannya, termasuk dengan dalih hak asasi manusia seperti yang dilakukan para pemuja HAM perpektif Barat saat ini. Hal ini tidak mengherankan, sebab Al-Qur`an telah mensinyalir orang-orang bodoh seperti ini, oleh karenanya yang dapat memahami hikmah besar dari hukum qishash ini hanyalah “ûlul albâb” atau orang-orang yang menggunakan hati dan pikirannya, yang berfikir bukan sekedar untuk urusan saat ini namun juga akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. (l, Asy-Syaukânî, 1/203)
Sebagai orang-orang yang beriman, qishas dan diyat bukan hal utama yang kita takuti, namun kita meyakini bahwa siksa dan hukuman yang berat di akhirat kelak akan menunggu orang-orang yang menganiaya manusia, membunuhnya dan tidak menghargai nilai nyawa setiap manusia yang telah diberi kehidupan oleh Allah SWT.
Wallahu A’lam
Aan Abdurrahman

Seakan-akan Membunuh Semua Manusia, ....


Akhir-akhir ini berita-berita tentang pembunuhan semakin sering didengar,  seakan nilai-nilai kemanusiaan telah tercerabut dari banyak orang di negri ini sehingga baginya tidak ada lagi harga bagi nyawa seseorang, lebih dari itu pembunuhan pun dilakukan dengan sadis, seperti dengan memutilasi korban, menjual anggota tubuh korban, merampas harta korban dan kehormatannya serta lain-lainnya.
Kasus pembunuhan ini pun tidak pernah menyusut, namun semakin meningkat frekuensinya meski berbagai tindakan hukum telah dilakukan, bahkan memunculkan aksi hukum sendiri karena ketidak puasan terhadap proses tindakan hukum yang dijalankan.

Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam sangat menghargai nilai jiwa manusia, oleh karenanya memelihara jiwa (hifzh an-nafs) termasuk satu dari lima tujuan umum syari’at Islam (maqâshid asy-syar’iyyah), yang implementasinya, menganggap perbuatan membunuh tanpa alasan yang benar, sebagai dosa besar yang pelakunya mendapatkan hukuman keras (qishash) di dunia serta ancaman siksa Jahannam di akhirat, Allah SWT berfirman :

“dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (An-Nisaa` : 93)

Ini adalah ancaman terberat bagi sebuah dosa besar, ada empat ancaman bagi pelaku pembunuhan dalam ayat di atas yaitu, kekal dalam neraka Jahannam, murka dan kutukan Allah serta azab yang besar, tentang ayat ini  syekh As-Sa’di mengatakan bahwa tidak ada dosa besar yang ancamannya lebih berat atau serupa dari pada ancaman ayat ini bagi pelaku pembunuhan (V.I, h. 93) oleh karenanya membunuh merupakan dosa besar yang membinasakan dan persoalan penumpahan darah ini akan diproses pertama – tama dalam pengadilan akhirat sebelum urusan-urusan lainnya, Rasulullah SAW bersabda : 

“Hal yang pertama kali diperkarakan antara manusia pada hari kiamat adalah tentang persoalan darah” (Muttafaq ‘alaih)

Tingginya penghargaan Islam terhadap jiwa manusia terutama yang beriman, begitu dipahami oleh Sahabat-sahabat Rasulullah SAW, dalam hal ini atsar dari Abdullah bin‘Umar RA patut kita renungkan, Suatu hari ia memandangi Ka’bah, ia berkata : betapa agungnya engkau (ka’bah) dan betapa agung kehormatanmu! Namun seorang yang beriman lebih agung kehormatannya dari padamu” (Tirmidz dan Ibnu Hibbân, shahih menurut Al-Albâni)

Pembunuhan merupakan kejahatan yang amat besar, jika kejahatan ini dibiarkan tanpa penegakkan hukum akan menimbulkan rasa ketidak amanan di masyarakat, teror yang selalu mencekam, timbulnya dendam dari keluarga korban, dan penghinaan terhadap nilai kehidupan.

Tragedi Pembunuhan yang pertama
Tragedi pembunuhan yang pertama kali terjadi dalam sejarah manusia adalah kisah dua anak Nabi Adam ‘alaihis salam, karena munculnya kedengkian dari salah seorang mereka karena saudaranya mendapatkan niikmat yang lebih dari Allah SWT, sehingga yang satu membunuh yang lainnya, Allah SWT berfirman :

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (Al-Maidah : 27)

Al-Qur`an tidak pernah menyebutkan nama kedua anak Adam yang dimaksud, karena yang terpenting adalah hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut, diantara hikmah itu adalah hargailah jiwa manusia, jangan pernah membunuh atau menyusahkannya, Rasulullah SAW bersabda :
 لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا، إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ القَتْلَ
 “Tidaklah satu jiwa dibunuh, melainkan atas salah satu anak Adam (yang membunuh) bagian dari dosa dari darahnya, karena ia adalah yang pertama kali memulai pembunuhan” (Bukhâri dan Muslim)
Membunuh satu jiwa, tidak berarti hanya berbuat lalim terhadap satu orang, namun sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia, Allah SWT berfirman :

oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya...”. (Al-Maidah : 32)

Ayat di atas bukan hanya tentang Bani Israil, namun termasuk bagi umat terakhir ini, disebutkannya Bani Israil antara lain karena sifat mereka yang senang berbuat aniaya dan menumpahkan darah, padahal mereka mengetahui buruknya pembunuhan ini namun mereka bahkan membunuh para Nabi ‘alaihimus salam. (6/159).

Ibnul Mubârak mengatakan, dari Salâm bin Miskîn dari Sulaimân bin ‘Alî al-Rî’i, ia berkata, aku bertanya kepada al-Hasan: “apakah ayat ini juga untuk kita wahai Abû Sa’id sebagaimana juga untuk Bani Israil?, maka ia menjawab : ya, demi yang tidak ada Tuhan selain Dia sebagaimana untuk Bani Isrâ’il dan tidaklah darah Banî Isrâil lebih mulia di sisi Allah daripada darah kita. (Ibnu Katsir V, 3, h. 93)

Menurut DR. Wahbah al-Juhaili, ayat ini adalah dalil bahwa jiwa manusia bukan miliknya sendiri, namun harta sosial/milik masyarakat yang ia hidup disana, sehingga orang yang membunuh satu jiwa meski membunuh dirinya sendiri ia berhak atas siksa yang berat pada hari kiamat, sedangkan orang menghidupkan satu jiwa karena sebab apa pun maka seakan-akan ia menghidupkan seluruh manusia. (V. 6, h. 156)

Wallahu A’lam
Aan Abdurrahman

Selasa, 02 Oktober 2012

BELAJAR KEPADA NABI IBRAHIM MENGENAL RABBUL A’LAMIN



فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ (77) الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80) وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ (81) وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ (82) رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (83) } [الشعراء: 75 – 83[

Karena Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta Alam, (77).  (yaitu Tuhan) yang Telah menciptakan aku, Maka dialah yang menunjuki aku, (78)..  Dan Tuhanku, yang dia memberi makan dan minum kepadaku, (79). Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku, (80).  Dan yang akan mematikan aku, Kemudian akan menghidupkan Aku (kembali), (81).  Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat".(82).    (Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah Aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, (83) (Asy-Syu’arâ : 75-83).


Nabi Ibrahim termasuk nabi ulul ‘azmi (Nabi dengan tingkat kesabaran yang tinggi), seorang Nabi yang berhasil melewati berbagai cobaan yang Allah berikan kepadanya, bahkan untuk menyembelih putranya Ismail di saat rasa kasih sayang sudah sangat tertambat di dalam hatinya, perjalanan hidupnya beserta keluarganya begitu sarat dengan perjuangan tauhid dan ketundukan kepada perintah Allah SWT.

Sungguh tinggi nilai perjuangan Nabi Ibrahim ini, sehingga berbagai jejak perjuangannya diwariskan dalam ajaran Nabi terakhir Muhammad SAW sebagaimana yang kita ketahui  dalam ibadah haji, hari raya idul Adha dengan amaliyah kurban serta tradisi menghormati tamu dan yang lainnya.

Di dalam Al-Qur`an Allah SWT banyak menjelaskan kisah hidup beliau, di antaranya ketika beliau menjelaskan tentang Tuhan semesta alam (Rabbul ‘Alamîn) kepada kaumnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, dari ayat ini juga kita dapat belajar tentang beberapa sifat Allah Rabbul ‘Alamîn, dengan mengenal Allah mudah-mudahan menjadi jalan untuk meningkatkan keimanan kita.  Yaitu :


a.Yang Telah menciptakan aku, Maka dialah yang menunjuki aku

Allah SWT adalah yang menciptakan seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini, Dia adalah yang maha mencipta (al-Khâliq), yang maha menjadikan (al-Bâri-u) dan yang maha membentuk kejadian makhluknya(al-Mushawwiru), tidak ada satupun di alam semesta ini kecuali Dialah penciptanya, Dia disebut al-Khâliq dan yang lainnya disebut al-Makhluk. Ia adalah rabb sedangkan yang lainnya al-‘âlamin.

Demikian pula Allah adalah yang maha memberikan petunjuk, bahkan ketika kita bersungguh-sungguh berda’wah dengan metode yang sebaik-baiknya, kita tetap harus meyakini petunjuk atau hidayah adalah hak perogratif Allah SWT, dan sebagai hamba-Nya, memohon agar diberikan hidayah adalah permohonan yang utama yang mesti dipanjatkan.


b.Yang memberi makan dan minum kepadaku

Yang tampak disaksikan adalah  seakan-akan kita makan dan minum dari hasil kerja kita sendiri, atau hasil dari bumi yang diolah dan ditanami, namun apabila kita merenungkan lebih dalam tentu kita akan menyadari hakikatnya yang memberikan makan dan minum kita adalah Allah SWT, sedangkan yang lain hanyalah sebab-sebab yang Allah jadikan sebagai bagian dari ikhtiar manusia, oleh karena itu bukan alasan yang benar berbuat kriminal atau korupsi karena takut lapar, bekerjalah dengan jalan yang halal, Allah telah menentukan rizki setiap makhluk yang diciptakannya,

  Dia-lah yang memberi kita makan bukan perusahaan atau kantor tempat kita bekerja, Dia-lah yang memberi kita minum bukan sungai atau awan yang menurunkan hujan, hal-hal itu hanyalah berdiri sebagai sebab, hati kita  


c. Yang apabila  Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku

Apabila kita atau salah satu anggota keluarga sakit, seringkali tindakan yang pertama kita lakukan adalah segera mengobatinya dengan segera mendatangi dokter, klinik atau rumah sakit, bahkan berbuat syirik dengan mendatangi dukun-dukun (na’udzubillah),  baru setelah semuanya tidak berhasil kita ingat bahwa Allah –lah yang berkuasa untuk menyembuhkannya, kita sering menjadikan Allah di nomor terakhir, bahkan ketika sakit itu semakin parah, seringkali kita melupakan adanya taqdir Allah Rabbul ‘Alamîn.

Seharusnya kita meyakini semenjak awal bahwa sakit yang kita alami dan yang berkuasa menyembuhkan hanyalah Allah SWT, segeralah memohon ampunan dan kesembuhan kepadaNya (Lâ Syifâ-a illa Syifâ-uka), kemudian mencari obat atau dokter sebagai ikhtiar yang diperintahkan Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul Nya.

d.   Yang akan mematikan aku, Kemudian akan menghidupkan Aku (kembali)

Setelah Allah SWT menghidupkan kita, sebagaimana saat ini, kelak sebagaimana manusia yang telah mendahului kita, Allah juga akan mematikan kita kapan pun waktunya tidak ada yang mengetahui kecuali Dia, setelah itu Allah akan menghidupkan kita kembali untuk kehidupan yang sebenarnya yang lebih panjang guna mempertanggung jawabkan amal perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan dunia ini.

Semua manusia tentu meyakini bahwa dirinya adalah fana (tdak kekal) dan akan mati, namun tidak sedikit manusia yang mengingkari  akan adanya hari kebangkitan, dihidupkannya kembali manusia di kehidupan akhirat untuk mempertangguyng jawabkan amal perbuatannya, termasuk kaum muslimin meski meyakini hari tersebut, namun sering kali lupa karena rutinitas kehidupan yang melalaikannya.

Orang yang beriman harus meyakini Allah adalah satu-satunya yang dapat mematikannya dan kelak akan menghidupkannya kembali, sehingga ia lebih bergegas menyiapkan perbekalan untuk hari yang begitu berat dan pahit bagi orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT.

e. yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat

Dialah Allah, Tuhan yang  hanya kepadanya kita memohon dan mengharapkan ampunan di dunia dan  akhirat, dalam hal ini Al-Qur`an menggambarkan begitu besarnya keinginan (thama’) Nabi Ibrahim agar diampuni Allah SWT padahal beliau adalah kekasih Allah (Khalîlullah), inilah yang lebih harus lagi kita miliki, kita harus sungguh-sungguh mengharapkan ampunan Allah karena kita adalah hamba yang biasa yang tidak ada jaminan keselamatan kita baik di dunia juga akhirat.

Terakhir kita memanjatkan doa’a kepada Allah sebagaiman do’a Nabi Ibrahim: "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah Aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh”.