Selasa, 02 Oktober 2012

BELAJAR KEPADA NABI IBRAHIM MENGENAL RABBUL A’LAMIN



فَإِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِي إِلَّا رَبَّ الْعَالَمِينَ (77) الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ (78) وَالَّذِي هُوَ يُطْعِمُنِي وَيَسْقِينِ (79) وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ (80) وَالَّذِي يُمِيتُنِي ثُمَّ يُحْيِينِ (81) وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ (82) رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ (83) } [الشعراء: 75 – 83[

Karena Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta Alam, (77).  (yaitu Tuhan) yang Telah menciptakan aku, Maka dialah yang menunjuki aku, (78)..  Dan Tuhanku, yang dia memberi makan dan minum kepadaku, (79). Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku, (80).  Dan yang akan mematikan aku, Kemudian akan menghidupkan Aku (kembali), (81).  Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat".(82).    (Ibrahim berdoa): "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah Aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, (83) (Asy-Syu’arâ : 75-83).


Nabi Ibrahim termasuk nabi ulul ‘azmi (Nabi dengan tingkat kesabaran yang tinggi), seorang Nabi yang berhasil melewati berbagai cobaan yang Allah berikan kepadanya, bahkan untuk menyembelih putranya Ismail di saat rasa kasih sayang sudah sangat tertambat di dalam hatinya, perjalanan hidupnya beserta keluarganya begitu sarat dengan perjuangan tauhid dan ketundukan kepada perintah Allah SWT.

Sungguh tinggi nilai perjuangan Nabi Ibrahim ini, sehingga berbagai jejak perjuangannya diwariskan dalam ajaran Nabi terakhir Muhammad SAW sebagaimana yang kita ketahui  dalam ibadah haji, hari raya idul Adha dengan amaliyah kurban serta tradisi menghormati tamu dan yang lainnya.

Di dalam Al-Qur`an Allah SWT banyak menjelaskan kisah hidup beliau, di antaranya ketika beliau menjelaskan tentang Tuhan semesta alam (Rabbul ‘Alamîn) kepada kaumnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, dari ayat ini juga kita dapat belajar tentang beberapa sifat Allah Rabbul ‘Alamîn, dengan mengenal Allah mudah-mudahan menjadi jalan untuk meningkatkan keimanan kita.  Yaitu :


a.Yang Telah menciptakan aku, Maka dialah yang menunjuki aku

Allah SWT adalah yang menciptakan seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini, Dia adalah yang maha mencipta (al-Khâliq), yang maha menjadikan (al-Bâri-u) dan yang maha membentuk kejadian makhluknya(al-Mushawwiru), tidak ada satupun di alam semesta ini kecuali Dialah penciptanya, Dia disebut al-Khâliq dan yang lainnya disebut al-Makhluk. Ia adalah rabb sedangkan yang lainnya al-‘âlamin.

Demikian pula Allah adalah yang maha memberikan petunjuk, bahkan ketika kita bersungguh-sungguh berda’wah dengan metode yang sebaik-baiknya, kita tetap harus meyakini petunjuk atau hidayah adalah hak perogratif Allah SWT, dan sebagai hamba-Nya, memohon agar diberikan hidayah adalah permohonan yang utama yang mesti dipanjatkan.


b.Yang memberi makan dan minum kepadaku

Yang tampak disaksikan adalah  seakan-akan kita makan dan minum dari hasil kerja kita sendiri, atau hasil dari bumi yang diolah dan ditanami, namun apabila kita merenungkan lebih dalam tentu kita akan menyadari hakikatnya yang memberikan makan dan minum kita adalah Allah SWT, sedangkan yang lain hanyalah sebab-sebab yang Allah jadikan sebagai bagian dari ikhtiar manusia, oleh karena itu bukan alasan yang benar berbuat kriminal atau korupsi karena takut lapar, bekerjalah dengan jalan yang halal, Allah telah menentukan rizki setiap makhluk yang diciptakannya,

  Dia-lah yang memberi kita makan bukan perusahaan atau kantor tempat kita bekerja, Dia-lah yang memberi kita minum bukan sungai atau awan yang menurunkan hujan, hal-hal itu hanyalah berdiri sebagai sebab, hati kita  


c. Yang apabila  Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku

Apabila kita atau salah satu anggota keluarga sakit, seringkali tindakan yang pertama kita lakukan adalah segera mengobatinya dengan segera mendatangi dokter, klinik atau rumah sakit, bahkan berbuat syirik dengan mendatangi dukun-dukun (na’udzubillah),  baru setelah semuanya tidak berhasil kita ingat bahwa Allah –lah yang berkuasa untuk menyembuhkannya, kita sering menjadikan Allah di nomor terakhir, bahkan ketika sakit itu semakin parah, seringkali kita melupakan adanya taqdir Allah Rabbul ‘Alamîn.

Seharusnya kita meyakini semenjak awal bahwa sakit yang kita alami dan yang berkuasa menyembuhkan hanyalah Allah SWT, segeralah memohon ampunan dan kesembuhan kepadaNya (Lâ Syifâ-a illa Syifâ-uka), kemudian mencari obat atau dokter sebagai ikhtiar yang diperintahkan Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul Nya.

d.   Yang akan mematikan aku, Kemudian akan menghidupkan Aku (kembali)

Setelah Allah SWT menghidupkan kita, sebagaimana saat ini, kelak sebagaimana manusia yang telah mendahului kita, Allah juga akan mematikan kita kapan pun waktunya tidak ada yang mengetahui kecuali Dia, setelah itu Allah akan menghidupkan kita kembali untuk kehidupan yang sebenarnya yang lebih panjang guna mempertanggung jawabkan amal perbuatan yang kita lakukan dalam kehidupan dunia ini.

Semua manusia tentu meyakini bahwa dirinya adalah fana (tdak kekal) dan akan mati, namun tidak sedikit manusia yang mengingkari  akan adanya hari kebangkitan, dihidupkannya kembali manusia di kehidupan akhirat untuk mempertangguyng jawabkan amal perbuatannya, termasuk kaum muslimin meski meyakini hari tersebut, namun sering kali lupa karena rutinitas kehidupan yang melalaikannya.

Orang yang beriman harus meyakini Allah adalah satu-satunya yang dapat mematikannya dan kelak akan menghidupkannya kembali, sehingga ia lebih bergegas menyiapkan perbekalan untuk hari yang begitu berat dan pahit bagi orang-orang yang ingkar kepada Allah SWT.

e. yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat

Dialah Allah, Tuhan yang  hanya kepadanya kita memohon dan mengharapkan ampunan di dunia dan  akhirat, dalam hal ini Al-Qur`an menggambarkan begitu besarnya keinginan (thama’) Nabi Ibrahim agar diampuni Allah SWT padahal beliau adalah kekasih Allah (Khalîlullah), inilah yang lebih harus lagi kita miliki, kita harus sungguh-sungguh mengharapkan ampunan Allah karena kita adalah hamba yang biasa yang tidak ada jaminan keselamatan kita baik di dunia juga akhirat.

Terakhir kita memanjatkan doa’a kepada Allah sebagaiman do’a Nabi Ibrahim: "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah Aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh”.

BERTEMAN DENGAN MALAIKAT


الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير} [فاطر: 1[
segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Q.S. Faathir : 1)
Dalam bahasa Inggris, malaikat biasanya diterjemahkan menjadi “angel” (baca: enjeul), sebagai bahasa yang internasional, kata ini pun banyak dipergunakan di masyarakat kita, terutama generasi muda, tapi benarkah konsep “Angel” dalam mitos Barat sama dengan “Malaikat” menurut ajaran Islam?.
Konsep “Angel” dalam mitos dunia Barat biasanya di-imajinasikan dengan sosok perempuan cantik, berpakaian serba putih yang memiliki sayap, dengan membawa tongkat ajaibnya, oleh karenanya terkadang mereka juga disebut dengan peri atau bidadari, seperti imajinasi dalam sebuah iklan minyak wangi laki-laki  yang jargonnya “sampai membuat bidadari lupa diri”. Maha suci Allah dari semua kedustaan ini.
Mitos tentang “Angel” ini mirip dengan pandangan sesatnya orang-orang Jahiliyah di masa Rasulullah SAW, sebagaimana diinformasikan di dalam Al-Qur`an, Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. (27) dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. (28) (QS. An-Najm : 27-28)
Mereka menganggap bahwa malaikat adalah  anak-anak perempuannya Allah, padahal mereka sendiri benci bila memiliki anak permpuan, tentang ini Allah SWT berfirman :
“Maka Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap Al Lata dan Al Uzza, (19)  dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (20)  Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? (21) yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. (22) itu tidak lain hanyalah Nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.(23) (QS. An- Najm : 19-24)
Demikianlah kemiripan mitos Barat tentang “angel” dengan prasangka sesatnya masyarakat Jahiliyah, yang banyak diilustrasikan dalam acara-acara TV,  sehingga jangan-jangan putra-putri kita juga terjangkiti mitos sesat ini, oleh karenanya penting para orang tua memberikan pemahaman yang benar tentang iman kepada Malaikat kepada putra-purinya.
MALAIKAT MENURUT ISLAM
Malaikat merupakan makhluk Allah SWT yang diciptakan dari cahaya, mereka bukan laki-laki juga bukan wanita, pengetahuan kita tentang mereka hanyalah berdasar informasi yang shahih yang  dijelaskan baik di dalam Al-Qur’an dan dalam As-Sunnah, misalnya suatu saat Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat-sahabatnya :
“langit menjerit karena berat (yang ditanggungnya) dan memang haknya dia menjerit, demi yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidak ada satu jengkal pun di sana kecuali ada kening seorang malaikat yang sedang sujud mensucikan Allah seraya memuji-Nya” (dihasankan oleh al-Albânî di dalam Shahîh al-Jamî’).
Malaikat adalah makhluk Allah yang luar biasa penciptaannya, namun mereka senantiasa tunduk kepada segala perintah dan larangan Allah SWT, mereka tidak pernah sombong dan tidak pernah enggan beribadah kepada-Nya, diantara mereka ada yang namanya disebutkan di dalam nash, seperti Jibrîl, Mîkâ-il, Isrâfîl, Mâlik (penjaga neraka), Ridhwân  (penjaga surga), munkar dan Nakîr.
Demikian juga ada di antara mereka yang disebutkan pembatasan pekerjaannya, seperti tujuh Malaikat , yaitu Malaikat penjaga ‘Arsy (Hamalatul ‘Arsy, Malaikat maut dan dua malaikat yang turun setiap hari, salah satunya berkata : “Ya Allah berilah ganti bagi orang yang menafkahkan hartanya, dan yang lainnya berkata : Ya Allah berilah yang menahan hartanya kebinasaan”.
Jumlah malaikat tidak terhitung bahkan lebih banyak daripada jumlah manusia, tidak ada yang mengetahuinya selain daripada Allah SWT, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Jibril menginformasikan kepada Nabi Muhammad SAW pada malam “Isra Mi’raj”, ia berkata : “ini adalah Baitul Ma’mûr, setiap hari di dalamnya ada 7000 Malaikat yang shalat di dalamnya dan tidak pernah kembali lagi kesana
Sebagai kaum mu`minin tentunya kita beriman dengan keberadaan Malaikat, karena merupakan rukun iman yang kedua setelah beriman kepada Allah SWT, keimanan terhadap Malaikat akan melahirkan dampak positif bagi akhlak dan perilaku  orang yang beriman, tentunya tidak sekedar mempercayai tapi mempercayai secara benar dan komprehensif mengenai keberadaan mereka.

BERTEMAN DENGAN MALAIKAT
Diantara sifat dan pekerjaan malaikat banyak yang berkait dengan keberadaan kaum mu`minin, antara lain Malaikat akan memohonkan ampun bagi orang-orang yang beriman,  malaikat akan bersama orang yang mahir membaca Al-Qur’an,  Malaikat akan merendahkan sayapnya terhadap para pencari ilmu agama, Malaikat tidak akan mendekati orang yang bau seperti akibat memakan bawang merah dan bawang putih (termasuk rokok), dan Malaikat akan turun pada malam lailatul qadar, bahkan dalam sebuah hadits yang shahih riwayat imam Ahmad juga disebutkan apabila di malam hari kita mendengar suara sahutan ayam maka kita diperintahkan agar memohon keutamaan kepada Allah, karena ia melihat Malaikat. Di dalam Al-Qur`an Allah SWT berfirman :
 dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”. (Al-An’am : 61)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud “Hafazhah” adalah malaikat-malakat  yang menjaga tubuh manusia, sebagaimana firman Allah SWT :
“bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah” (QS. Ar-Ra’d : 11)  dan dalam firman-Nya :
Demikian juga Imam Ahmad meriwayatkan di dalam musnadnya dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda :
“Sesungguhnya masjid-masjid memiliki pasak-pasak (orang yang sering beri’tikaf di masjid), malaikat-malaikat adalah teman mereka, jika mereka absen malaikat akan mencari-cari mereka, apabila mereka sakit maka malaikat akan menjenguknya, apabila mereka dalam suatu keperluan Malaikat akan membantunya (Al-Albani mengatakan : Hasan Shahih)
DAMPAK POSITIF IMAN KEPADA MALAIKAT
Beriman dengan benar terhadap Malaikat, akan menumbuhkan dampak positif bagi akhlak seseorang diantaranya sebagimana disebutkan Muhammad bin Shalih menkabo, yaitu : pertama, Pengagungan Allah di dalam hati, karena keagungan penciptaan  Malaikat, banyaknya jumlah dan sifat-sifat mereka, semua itu menunjukkan keagungan Allah. Kedua, Perasaan dibersamai dan bersahabat dengan Malaikat, hal itu akan menyebabkan perasaan malu seorang hamba dan merasa diawasi baik dalam perkataan juga perbuatannya, sehingga ia tidak akan bermaksiat kepada  Allah baik dalam keadaan tersembunyi atau pun terang-terangan. Ketiga, Keinginan kuat untuk bersahabat dan membersamai Malaikat serta menjauhi sebab-sebab Malaikat menjauhi manusia. Keempat, Keinginan kuat agar mendapatkan do’a Malaikat, permohonan ampun dan doa malaikat dengan melakukan perbuatan yang dijelaskan keutamaannya dalam hal itu.
         Demikian di antara dampak atau pengaruhk iman kita akan keberadaan malaikat, akhir kata kita marilah senantiasa memohon bimbingan Allah SWT.
Wallahu A’lam
Aan Abdurrahman

Sabtu, 25 Agustus 2012

Y A Q I N




وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21) وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ } [الذاريات: 20 - 22]
dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (20) dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan? (21) (Adz-Dzariyat : 20-21)
Dengan jelas ayat di atas mengkhabarkan bahwa kemampuan mencermati tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di alam semesta termasuk di dalam diri kita, hanya dimiliki orang-orang yang yakin kepada Allah SWT, mereka dapat menikmati keimanannya kepada Allah SWT.
Tentunya cara orang yang yaqin dalam mencermati tanda-tanda kekuasaan Allah, berbeda dengan cara orang-orang saintis yang hanya berfokus pada keilmuan nisbi (relative), orang-orang yang yaqin memahaminya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, dengannya mereka menyadari posisi diri mereka sebagai hamba, potret mereka adalah sebagaiman deskripsi Al-Qur’an tentang Ulûl Albâb di dalam surat Ali Imrân, dalam doa mereka menyebutkan : “Wahai Tuhan kami, sungguh Engkau tidak menciptakan semua ini dalam keadaan sia-sia, maka jagalah kami dari api neraka”.
jika demikian, maka begitu tingginya nilai keyakinan!


Definisi Yakin
Apakah, kita dapat mengambil faedah dari ayat-ayat kauniyyah yang Allah hamparkan luas di semesta alam ini?, apakah kita termasuk orang-orang yang yakin atau “al-Mûqinûn”?
Yaqin menurut bahasa berasal dari derivasi kata “yaqina, ayqana, yûqinu, îqânan, yaiqinu, yaqnan, yaqînan fahuwa mûqinun. yang antonimnya adalah keraguan “syakk”, artinya yaqin adalah ilmu dan aplikasi suatu urusan serta menghapus keraguan
Dalam tradisi perkataan Arab, untuk mengungkapkan “keyakinan” orang-orang Arab juga menggunakan kata “dzann”  - yang arti asalnya adalah persangkaan dan perkiraan- yang memiliki makna ganda yakni ungkapan keyakinan juga keraguan. Oleh karena itu sebagain ahli tafsir  mengatakan : setiap “dzann” di dalam Al-Qur’an menunjukkan ilmu dan keyakinan, sebagaiman disebutkan ath-Thabari dengan sanadnya kepada Mujâhid dan Ibnu katsir menyebutkan ke-shahihan sanad darinya (lihat Jâmi’ al-Bayân dan Tafsîr Ibnu Katsîr)
Menurut Istilah yaqin adalah memantapkan ilmu dengan menghapus keraguan dan kesamar-samaran (syubhat) dan keilmuan yang kokoh yang tidak ada keraguan di dalamnya sehingga menyebabkan ketetangan hati dan mendorong seseorang untuk beramal. (DR. M. bin Abdul Aziz bin Ahmad al-Ali)
Ibnu Taimiyah mengatakan : “Yaqin adalah ketetangan hati dan kemantapan ilmu  di dalamnya, lawannya adalah keraguan yaitu suatu jenis dari pergerakan dan kegoncangan” (majmu’ Fatâwa)
As-Sa’di mengatakan “Keyakinan adalah ilmu yang sempurna yang di dalamnya tidak ada keraguan tingkat terendah sekalipun, dan mendorong untuk beramal” (Taisir Karimir Rahman)
Buah Keyaqinan
Keyakinan begitu penting bagi kita dalam beriman kepada Allah SWT, berikut di antara buah-buah hasil dari keyakinan, yaitu :
1. Yaqin adalah sebab utama kehidupan dan ketenangan hati, ia akan menghapus keraguan dan kemarahan serta mengisi hati dengan cahaya serta pengharapan, takut dan kecintaan kepada Allah SWT secara bersama-sama.
2. mendapatkan taufik dan pertolongan dari Allah dalam mengahadapi pertanyaan-pertanyaan  dua Malaikat Kubur.
3. Keyakinan dapat menolong seseorang untuk beribadah dan melaksanakan syaria-syariat Allah SWT.
4.Keyakinan menjadi sebab kelapangan dada dan terpeliharanya dari rasa takut, gundah-gulana dan keraguan. Allah berfirman :
tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Ath-Taghâbûn : 11)


Tentang ketenangan hati, kita teringat kepada kisah Nabiyullah Ibrâhîm ‘alaihis salam, ketika ia meminta agar Allah SWT menunjukkan bagaimana Allah menghidupkan yang yang mati, dan Allah bertanya kepadanya “Apakah kamu belum beriman?” Ibrâhim menjawab “tidak, namun aku ingin hatiku ini menjadi tetang”. Dalam hal ini Ibrâhim ingin meningkatkan tingkat keyakinannya dari ilmul yaqin menjadi ‘ainul yaqîn. Dan Allah SWT mengabulkannya.
Kemudian Allah memerintah Nabi Ibrâhim menyembelih tiga ekor burung dan meletakkan beberapa bagiannya di gunung-gunung, kemudian Ibrahîm memanggil burung-burung tersebut dan mereka datang kepdanya dalam keadaan hidup.
Hal ini terjadi kepada Nabi Ibrahim dalam rangka meningkatkan keyakinannya, dan kejadian tersebut kecil kemungkinan akan kita alami, namun demikian ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keyakinan kita, di antaranya :
Metode Meningkatkan keyakinan
Pertama, Tadabbur Al-Qur’an terutama ayat-ayat yang menjelaskan tentang ke-esaan Allah (tauhidullah) dan ayat-ayat keagungan-Nya, dengan mengenal Allah SWT dan mengagungkannya dalam diri kita merupakan sebab utama mengokohkan keyakinan kita.
Kedua, Sering membaca sejarah kehidupan Rasulullah SAW, menelaah sunnah – sunnah-nya dan mengetahui kisah-kisah yang menunjukkan da’wah beliau, kecintaannya kepada umat, kesabarannya, dan perjuangannya.
Ketiga, membaca nash-nash janji dan ancaman Allah SWT baik di dalam Al-Qur’an juga di dalam As-Sunnah, serta memperhatikan sifat-sifat surga dan calon para penghuninya. Demikian juga dengan neraka, juga keadaan yang akan dialami di alam kubur baik kenikmatan ataupun sisksaan
Keempat, membaca kisah-kisah para Nabi, terutma yang berkait dengan mu’jizat dan pertolongan Allah kepada mereka serta tingginya kesabaran mereka ketika menghadapi kaum-kaumnya, terutama kisah nabi Nûh, Hûd, Ibrâhîm, Mûsâ dan Muhammad SAW.
Kelima, mengetahui tanda-tanda kiamat yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Keenam, berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar Allah meningkatkan keyakinan dan ketetapan hati.
Ketujuh, memperhatikan dan bertafakkur terhadap ayat-ayat kauniyyah atau tanda-tanda kekuasaan Allah yang terhampar luas di alam semesta.
Demikian sedikit pembahsan tentang keyakinan mudah-mudahan bermanfaat!

MEMILIH TEMAN



وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا (27) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا (28) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا } [الفرقان: 27 – 29[
Dan (Ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) Aku mengambil jalan bersama-sama Rasul". (27).  Kecelakaan besarlah bagiKu; kiranya Aku (dulu) tidak menjadikan sifulanitu teman akrab(ku). (28) Sesungguhnya dia Telah menyesatkan Aku dari Al Quran ketika Al Quran itu Telah datang kepadaku. dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. (29) (Al-Furqân 28-29)

Latar belakang atau sabab Nuzû) ayat di atas sebagaimana diketengahkan banyak mufassirin berkait dengan seorang  pemuka Quraisy yang bernama Uqbah bin Abi Mu’aith, seorang yang memiliki kepribadian yang baik, sekalipun ia belum beriman kepada Rasulullah SAW, namun ia senang berbicara dan bertukar fikiran dengan beliau, dalam suasana pergaulan yang baik, sampai-sampai suatu ketika ia mengundang Rasulullah SAW untuk bertamu dan makan di rumahnya, ketika makanan sudah dihidangkan, Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau tidak hendak memakannya sebelum Uqbah menyatakan dua kalimat syahadat, karena Uqbah adalah seorang yang baik dan memuliakan tamunya, ia pun mengucapkan syahadat tersebut.
Setelah peristiwa tersebut ia bertemu dengan kawan lamanya Ubayy bin Khalaf dan ia pun menceritakan bahwa dirinya telah bersyahadat, Ubayy pun mencelanya dan mengatakan bahwa “kamu lemah” dan mengatakan “saya belum rela sebelum engkau datang kepada Muhammad itu, caci maki ia lalu ludahi mukanya”, dengan tidak memikirkan akibat yang jauh , Uqbah pun mengikuti provokasi sahabat lamanya ini, Uqbah pun mencari Rasulullah SAW, dan didapatinya beliau sedang bersujud di Darun Nadwah, lalu dicaci-makilah beliau dan diludahi mukanya, menghadapi penghinaan dari Uqbah ini, beliau mengatkan : “Apabila kelak aku bertemu denganmu di luar kota Makkah, kecuali pedangku akan memotong kepalamu”, dan ketika perang Badar Uqbah pun tertawan dan Rasulullah SAW memerintahkan Ali untuk membunuhnya sedangkan Ubayy terkena tombak, ia lari ke Makkah dan meninggal seraya berucap “duhai kiranya aku memilih jalan bersama Rasul Allah”. (Hamka/tafsir al-Azhar dan Wahbah az-Zuhaili/tafsir Al-Munir)
Ya laitanî ittakhadtu ma’ar rasuli sabila, ya wailata laitani lam attakhidz Fulânan khalîlan (dan duhai kiranya aku tidak menjadikan si Fulan sebagai Teman), kalimat tersebut adalah ungkapan penyesalan seorang yang salah memilih teman kepercayaan, temannya itu telah menyesatkannya sehingga di akhirat ia akan menggigit tangannya, menyesali sikapnya meninggalkan Rasul dan memilih jalan orang-orang yang sesat. Ibnu Katsir dalam tafsirnya tidak secara detail menukil sabab Nuzul  di atas, namun menjelaskan :
“Setiap orang yang dzalim akan menyesal pada hari kiamat dengan penyesalan yang sangat, ia akan menggigit kedua tangannya seraya berkata (duhai sekiranya aku memilih jalan bersama Rasul Allah, dan duhai sekiranya aku tidak menjadikan fulan sebagai khalil (kekasih), yaitu (teman) yang memalingkannya dari petunjuk dan beralih ke jalan kesesatan yang ditunjukkan para penyerunya baik itu Umayyah bin Khalaf atau saudaranya Ubayy bi Khalaf atau yang lainnya”.
Penyesalan yang akan dihadapi orang-orang dzalim pada hari kiamat adalah akibat mereka menuruti kemauan sesat kroni-kroninya, baik kawannya, istri atau kekasihnya, pemimpinnya dan syetan – syetan yang memberikan angan-angan dan janji palsu, gambaran penyesalan ini disebutkan di dalam Al-Qur’an :
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, Andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". (66)  Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami Telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). (67)  Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (68) (QS. Al-Ahzab 66-68)
Memilih Teman yang Baik
Ada pepatah yang mengatakan “janganlah kau tanya seseorang tentang dirinya tapi cukup lihat saja temannya,  karena seseorang dengan temannya saling mengikuti”. 
Teman sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang, ia bagaikan kopi atau teh yang akan mewarnai segelas air yang bening, oleh karena itu sudah semestinya setiap orang memperhatikan dengan siapa ia bergaul dan berteman dalam kehidupan sehari-harinya, jika ia berteman dengan orang-orang shalih yang selalu menasehatinya ingat kepada Allah SWT, maka akan menjadi sebab memperbaiki kualitas keimanannya. Sebaliknya apabila ia berteman dengan orang-orang yang berperilaku buruk, maka perilaku buruk itu juga akan menjangkitinya, terkecuali bergaul dengan mereka dengan maksud berda’wah dan menasehati mereka untuk dapat berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruknya sedangkan ia sudah memiliki kesiapan yang matang.
Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda: “ permisalan teman yang shalih dan teman yang buruk, seperti penjual minyak wangi dan seorang pandai besi, seorang penjual minyak wangi mungkin saja ia memberimu (minyak wangi), atau engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan wangi yang harum sedangkan seorang pandai besi mungkin akan membakar bajumu atau kau mendapati bau yang buruk (darinya)”. (Muttafaq ‘alaih)
Seorang laki-laki yang memiliki teman-teman yang buruk seperti para pelaku maksiat dan orang-orang yang suka meninggalkan shalat, mungkin suatu saat akan juga mengajaknya berlaku demikian, demikian pula seorang wanita yang memiliki kawan-kawan yang buruk seperti para pelaku ghibah dan gossip, dan berkata perkataan yang rendahan secara sadar atau tidak akan terpengaruh, demikian pula bagi yang telah memiliki putra-putri hendaklah mendidik mereka dengan sebaiknya memperhatikan pergaulan mereka, arahkan mereka untuk bergaul dengan teman-teman yang shalih yang senantiasa menjaga ajaran agama ini dan saling menasehati dalam kebaikan.
Hakekatnya diri kita sendiri yang lebih berperan menerima atau menolak kebenaran sehingga kelak di akhirat kita sendiri yang akan mempertanggung-jawabkan apa yang kita perbuat, namun demikian, seringkali keberadaan teman berpengaruh dalam dalam keputusan kita dan mempengaruhi perilaku kita, sebagaimana contoh yang disebutkan di atas, oleh karena itu suatu sudah semestinya kita pandai mencari dan  memilih teman, teman-teman yang baik tentu ada di tempat-tempat yang baik seperti dengan mendatangi majlis-majlis ilmu agar mendapat teman-teman yang senantiasa mengingatkan kepada kebaikan.
Mudah-mudahan Allah SWT memberi kita petunjuk dan menguatkan hati kita untuk menerima kebenaran dan melindungi kita dari setiap bujuk rayu para penyeru kesesatan, jadilah teman yang shalih dan carilah teman yang shalih.
Aan Abdurrahman, S.Kom.I